Minggu, 07 September 2008

JONRU AND FRIENDS

Jonru & Friends

Rakyat Negeri Langit sedang resah. Namun bukan karena mewabahnya sejenis penyakit menular, atau karena terjadi perang saudara. Mereka resah karena situasi politik di negeri mereka sangat kacau. Raja bertindak sewenang-wenang. Kebebasan berpendapat dihambat. Siapa saja yang mengkritik Kerajaan ditangkap. Berbagai forum seminar atau pementasan teater tidak boleh diselenggarakan, karena dikhawatirkan dapat merongrong langgengnya kekuasaan raja. Pokoknya, kebebasan rakyat benar-benar mendapat hambatan.

Kondisi ini sangat menggelisahkan Nobita. Si Cengeng yang suka usil ini telah banyak berpikir dan berupaya agar segala jenis pencekalan dan pelarangan hilang dari Negeri Langit. Tetapi ia selalu gagal, sehingga alasannya untuk menangis pun semakin banyak.

"Huh, aku sebel... sebel!" teriaknya suatu hari sambil menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil yang permennya direbut. "Aku tak pernah berhasil menghilangkan pencekalan. Padahal David Coperfield bisa menghilangkan Patung Liberty. Sebel!"

"Kamu sih, terlalu cepat menyerah," seru Doraemon, sahabat Nobita paling setia yang suka mengeluarkan benda-benda aneh dari kantong ajaibnya. "Usaha, dong. Jangan bisanya cuma nangis!"

"Aku sudah berusaha keras!" teriak Nobita. "Aku sudah berdialog dengan Kerajaan, demonstrasi, menulis di media massa. Tapi semuanya nihil, tak pernah berhasil. Kerajaan tak pernah mau mendengarkan aspirasi rakyat!"

"Memang, penguasa di mana-mana suka begitu," Doraemon tersenyum geli. "Mereka kan ingin kekuasaannya langgeng. Kalau kamu mengkritik, itu mereka anggap sebagai penyakit alias ancaman bagi kekuasaan mereka. Ngerti enggak?"

"Ngerti sih ngerti. Tapi kita mengkritik itu kan untuk kebaikan bersama juga. Agar masyarakat kita enggak resah lagi. Agar tercipta keadilan."

"Memang tujuan kamu baik. Tapi kerajaan menafsirkannya lain. Di situlah repotnya."

"Wah, sulit dong," Nobita mengeluh dan menatap Doraemon penuh harap. "Lalu gimana nih, penyelesaian masalah ini?"

"Kok bertanya padaku, sih? Aku kan bukan politikus!"

"Tapi kamu kan bisa menciptakan benda yang dapat memecahkan masalah ini. Ayo dong, Doraemon. Bantu aku. Entar kamu kubuatkan susu coklat panas, deh."

"Huh, kalau ada maunya, kamu selalu merayuku," Doraemon jadi sewot.

Tapi Nobita tak peduli. Seperti biasa, ia terus merayu, hingga akhirnya Doraemon tak tahan juga.

"Baiklah," ia merogoh kantong ajaibnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana sambil berteriak, "KACAMATA TIGA DIMENSI!"

"Kok kacamata tiga dimensi?" gantian Nobita yang sewot. "Itu kan bukan benda ajaib. Masyarakat Negeri Bumi malah sudah biasa memakainya untuk menonton sinetron tiga dimensi. Jangan mempermainkan aku, ah!"

"Eh, dengar dulu. Kacamata ini berbeda dengan kacamata tiga dimensi bikinan Negeri Bumi. Ini dipakai bukan untuk sinetron tiga dimensi, tapi untuk menonton seminar dan pertunjukan teater, membaca karya sastra, dan mendengarkan pembicaraan tokoh yang sering dicekal. Konsumennya pun bukan pemirsa TV swasta, melainkan para intel Kerajaan yang hobi memata-matai. Dan tujuannya, agar antara Kerajaan dan rakyat yang mengkritiknya enggak ada lagi kesalahpahaman atau beda penafsiran. Mengerti?"

"Ah, yang benar?" Nobita masih tak percaya. "Lalu cara kerjanya bagaimana?"

Dengan panjang lebar Doraemon menerangkan. Nobita manggut-manggut sembari memikirkan sebuah keusilan yang dapat dilakukannya dengan alat itu.

Bisa enggak ya, dipakai buat mengintip orang mandi?

* * *

Benar saja. Kacamata tiga dimensi tersebut membawa perubahan yang sangat spektakuler bagi perkembangan fenomena pencekalan di Negeri Langit. Seorang Intel Kerajaan, setelah memakai benda tersebut untuk memata-matai tiga acara seminar dan satu pementasan teater, tampil di layar televisi. Ia diwawancarai oleh reporter televisi untuk acara Seputar Negeri Langit.

"Luar biasa. Sejak memakai kacamata tiga dimensi, saya jadi paham bahwa kritik-kritik yang disampaikan lewat seminar maupun pementasan teater merupakan salah satu bentuk partisipasi rakyat untuk mewujudkan keadilan di negeri ini. Saya jadi paham sekali dengan tujuan mereka melakukan itu. Saya rasa, kacamata ini mungkin mengandung semacam zat yang membuat kita bisa melihat segala persoalan tidak hanya sebagai benar dan salah alias dua dimensi, melainkan sebagai persoalan yang multi dimensi."

Mendengar hasil wawancara itu, Nobita bersorak kegirangan. Terlebih karena ia juga membaca koran yang melaporkan perilaku para intel Kerajaan belakangan ini yang dinilai sangat aneh.

"Para intel Kerajaan," tulis sebuah harian terkenal, "yang biasanya suka memberi laporan kepada Kerajaan tentang tindakan-tindakan reaksioner dari golongan masyarakat tertentu yang mengganggu stabilitas nasional Negeri Langit, berbalik membela kaum reaksioner." Harian itu juga melaporkan bahwa peristiwa pencekalan dan pelarangan di Negeri Langit semakin berkurang dalam sebulan terakhir ini.

"Hore... kita berhasil!" Nobita memeluk Doraemon dengan sukacita. "Terima kasih ya, Doraemon. Kamu pintar, deh."

Doraemon tertawa bangga. Kedua sahabat itu pun merayakan kemenangan sambil berdoa agar situasi politik di Negeri Langit semakin baik.

Namun sayang, doa itu tidak terkabul, sehingga kegembiraan Nobita dan Doraemon tidak berumur panjang. Dua bulan setelah kacamata ajaib itu beredar di pasaran, keluar undang-undang dari Kerajaan yang menyatakan, "Kacamata tiga dimensi merupakan benda terlarang, dan karena itu harus segera dimusnahkan dari seluruh Negeri Langit."

Duh, Nobita kembali punya alasan untuk menangis.


Semarang, 18 September 1995

Cerpen ini sudah dimuat di MANUNGGAL (Koran Kampus Universitas Diponegoro) edisi VI Tahun XIV, September 1995

Sumber foto: www.berezin.com

Mohon maaf sebesar-besarnya buat pemegang hak cipta Doraemon :)

==============

Keterangan:
Tahun 1995, saya pernah menulis cerpen yang mengambil tokoh-tokoh dari film kartun Doraemon. Ini adalah cerpen yang amat bernuansa Orde Baru, karena mengungkap masalah pencekalan dan ketidakbebasan berpendapat di masa pemerintahan Soeharto. Kebetulan, saat itu di stasiun televisi RCTI sedang ramai-ramainya pemutaran sinetron tiga dimensi, produksi Multivision Plus (satu di antaranya adalah sinetron "Lika Liku Laki Laki" yang dibintangi Ria Irawan dan Tiga Sekawan). Dari kondisi-kondisi di atas, saya mencoba menulis sebuah cerpen, dan jadilah cerita di atas.

Kenapa saya tergerak untuk menulis cerpen yang unik seperti ini? Terus terang, saya mendapat ide ini setelah membaca cerpen "Paman Gober" karya Seno Gumira Ajidarma (dimuat di Republika. Cerpen ini dapat ditemukan pada buku "Soeharto dalam Cerpen Indonesia", penerbit Bentang). Cerpen yang sangat bagus ini mengidentikkan Soeharto sebagai Paman Gober. Saya pikir, kenapa saya juga tidak melakukan hal yang sama?

Tapi anehnya, banyak teman saya ketika itu yang mengkritik. Mereka sepertinya merasa aneh melihat ada tokoh kartun anak-anak pada sebuah karya sastra. Saya tidak tahu, apakah saat itu mereka sudah membaca cerpen "Paman Gober". Hehehehe....


Jonru

Tags: cerpenku, karyaku_fiksi
Prev: Surat Terbuka untuk Pak Nurmahmudi Ismail
Next: Tahun baru mana yang bersifat universal?

Tidak ada komentar: